INDOZONE.ID - Sejumlah masyarakat lingkungan IV, Kelurahan Sipolha Horison, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Sumut) baru-baru ini menemui Ketua DPRD Sumut, Baskami Ginting.
Pertemuan mereka bermaksud untuk mengadukan keluhan warga yang resah akibat pemukimannya di klaim sebagai hutan lindung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan.
Dengan terbuka Baskami menerima kedatangan masyarakat tersebut. Ia menuturkan akan meneruskan aduan tersebut ke Komisi A dan B untuk segera ditindaklanjuti.
"Nanti akan diteruskan ke Komisi A dan B untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat ke depannya agar dibicarakan bersama pihak terkait, dari masyarakat, BPN dan Dinas Kehutanan," ucapnya, seperti yang dikutip Indozone, Sabtu (18/12/2021).
Seorang perwakilan masyarakat, Theodore Galimbat Bakkara (76) berharap, Baskami dapat menjadi penyambung lidah warga kepada pemerintah.
"Kami mengadu adanya klaim kehutanan di wilayah kampung dan dijadikan hutan lindung. Ini telah meresahkan masyarakat," katanya.
Dia menjelaskan sebelum ada penetapan Hutan Lindung, warga telah mengetahui adanya tapal batas antara hutan negara dengan perkampungan warga.
"Kami merasa hak kami diperkosa. Karena sebelumnya ada batas register kehutanan dengan perkampungan dan perladangan. Tapi kini, tiba-tiba ada klaim wilayah hutan lindung di perkampungan," sambungnya.
Oleh sebab itulah, warga merasa heran, mengapa tiba - tiba ada penetapan Hutan Lindung di kawasan perkampungan mereka. Padahal, menurutnya, warga sudah hidup beregenerasi, tinggal dan menguasai lahan yang diklaim jadi Hutan Lindung tersebut untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
"Selama ini, wilayah yang diklaim ada yang dihutankan untuk penyuburan, sebagian ditanami cengkeh, ada pula rumah warga, rumah ibadah, dan situs ritual kepada leluhur di sana," ujarnya.
Selain itu, menurutnya, penetapan Hutan Lindung tersebut membuat masyarakat yang tinggal di wilayah itu seolah ‘Margasatwa’.
"Kalau hutan lindung itu kan hanya margasatwa yang tinggal di sana. Apakah kami ini dianggap Margasatwa sama pemerintah?" ujarnya.
Adapun wilayah yang diklaim sebagai hutan lindung antara lain: Kampung Binanga Joring, Bandar, Tuktuk Naholhol, Ujung Mauli, dan Repa yang sudah lama menjadi pemukiman warga.
"Harapan kami persoalan ini segera selesai dan pemerintah memutihkan wilayah itu seperti semua. Kalau tidak kami mau ibadah dimana, mau tinggal dimana. Mata pencaharian kami hilang dan situs lokal juga sirna," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara Herianto turut merespon persoalan warga Sipolha tersebut. Ia mengatakan pihaknya akan tetap mengedepankan asas legalitas terkait soal kawasan hutan.
"Memang kawasan hutan itu mengacu kepada SK menteri. Tapi kita tidak akan mengabaikan hak - hak masyarakat yang ada di dalamnya," sebutnya.
"Hak ketiga itu bisa berupa SKT, SK Camat dan lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau di dalam kawasan hutan itu ada pemukimannya, rumah ibadah, sekolah, serta lainnya bisa diakomodir melalui program Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA)," tambahnya.
Dimana hak tersebut, menurutnya bisa didapatkan masyarakat dengan mengajukan ke kepala desa kemudian ke Bupati. Lalu diverifikasi oleh dinas kehutanan setempat, baru diajukan kepada KLHK. Selain TORA ada juga program Perhutanan Sosial dengan mengikutsertakan masyarakat dalam bentuk kelompok.
"Kelompok itu kemudian menyatakan bahwa lokasi hutan tersebut merupakan sumber penghidupan bersama. Ini akan menjadi program PS," tutupnya.